Dunia pendidikan seharusnya menjadi ruang yang suci dalam menumbuhkan karakter dan ilmu. Namun, di balik tembok sebuah sekolah dasar di Jawa Barat, praktik-praktik finansial yang meragukan justru menggerogoti esensi pendidikan itu sendiri.
Apa yang terjadi ketika kewajiban menabung siswa dan kegiatan "wajib" membayar dengan dalih biaya ADM berubah menjadi sumber fee terselubung bagi guru?
-
Menabung yang Tak Sesungguhnya.
Ada sebuah sekolah dasar, setiap siswa "dianjurkan." Secara lisan, tidak ada paksaan. Namun, dalam praktiknya, ada tekanan halus yang membuat siswa dan orang tua merasa wajib mengikuti. Uang yang seharusnya menjadi tabungan murni siswa ternyata tidak sepenuhnya kembali kepada mereka. Yang lebih mengkhawatirkan, setiap tahun saat kenaikan kelas, guru kelas menerima fee sebesar Rp 50.000 per siswa. Dengan total 350 siswa di sekolah, dana fee yang terkumpul mencapai Rp 17.500.000. Jika satu kelas berisi 30 siswa, guru kelas menerima Rp 1.500.000 per tahun dari program ini. -
Kegiatan "Wajib" yang Dipaksakan.
Selain menabung, siswa juga dihadapkan pada kegiatan lain yang dikenakan biaya, seperti renang di akhir semester. Setiap siswa dikenakan biaya Rp 50.000 jika mengikuti, dan Rp 25.000 jika tidak ikut dengan alasan untuk pembelian peralatan olahraga sekolah. Namun, dari biaya ini, guru olahraga mendapat fee Rp 25.000 per siswa. Dengan 350 siswa, fee yang terkumpul mencapai Rp 8.750.000 per semester. Fee ini kemudian dibagikan ke semua guru. misalkan ada guru sekitar 20 orang, sehingga setiap guru menerima Rp 437.500 per semester, atau Rp 875.000 per tahun. -
Hitungan Akhir: Fee Terselubung yang Signifikan.
Jika diakumulasi, setiap guru di sekolah ini menerima fee dari dua sumber tersebut: Fee menabung: Rp 1.500.000 per tahun Fee kegiatan renang: Rp 875.000 per tahun Total: Rp 2.375.000 per guru per tahun. Uang yang tidak kecil, dan lebih penting lagi uang yang seharusnya tidak menjadi insentif terselubung dalam dunia pendidikan. -
Pelanggaran Aturan yang Jelas.
Praktik ini terjadi meskipun Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi atau KDM telah melarangnya. Aturan jelas menyatakan bahwa sekolah tidak boleh memungut biaya di luar ketentuan resmi, apalagi jika ternyata dana tersebut berubah menjadi fee pribadi bagi guru. -
Dampak pada Siswa dan Orang Tua.
Selain beban finansial, praktik ini juga mengajarkan pesan keliru pada siswa, Pendidikan bisa dikapitalisasi. Kewajiban bisa diciptakan untuk kepentingan pribadi. Kepercayaan terhadap figur guru bisa terkikis. Bagi orang tua, terutama yang kurang mampu, ini adalah beban tersembunyi yang sering kali tidak bisa mereka tolak karena takut anaknya mendapat perlakuan tidak adil.
Bagaimana Seharusnya?
- Transparansi Total Setiap rupiah yang dibayar orang tua harus tercatat resmi dan dapat dipertanggungjawabkan, dengan kwitansi dan laporan penggunaan yang jelas.
- Pengawasan Lebih Ketat Tidak hanya aturan dari Gubernur Jawa Barat, tetapi juga pengawasan dari komite sekolah, orang tua, dan dinas pendidikan setempat.
- Pelaporan dan Perlindungan Whistleblower Orang tua dan guru yang berani melaporkan praktik tidak benar harus dilindungi, bukan justru diintimidasi.
- Pendidikan Karakter untuk Pendidik Guru adalah panutan. Program penguatan etika pendidik harus menjadi prioritas, bersama dengan peningkatan kesejahteraan yang legal dan transparan.
Pendidikan bukan hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga tentang kejujuran, integritas, dan keteladanan. Jika praktik-praktik seperti ini dibiarkan, apa yang akan diajarkan pada generasi penerus?
Mari jaga kemurnian dunia pendidikan dimana setiap rupiah yang diberikan orang tua adalah investasi untuk masa depan anak, bukan sumber fee yang terselubung. Panggilan untuk Aksi (Call to Action).
Apakah Anda pernah mengalami atau mengetahui praktik serupa di sekolah? Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar—dengan menjaga privasi semua pihak. Mari bersama awasi dan lindungi pendidikan anak-anak kita.
0 Komentar